Menjajal Sepeda Lipat di Tanjakan Gua Jepang Pundong, Bantul - Nasirullah Sitam

Menjajal Sepeda Lipat di Tanjakan Gua Jepang Pundong, Bantul

Share This
Berfoto di tulisan Gua Jepang, Pundong
Berfoto di tulisan Gua Jepang, Pundong
Pesan singkat menjelang malam hari dari Ardian membuatku bergegas menyiapkan sepeda lipat. Esok pagi, kami berencana menyambang Gua Jepang Pundong. Gua tersebut berlokasi di perbukitan yang tidak jauh dari Paralayang Parangtritis.

Sepemahamanku, rute menuju Gua Jepang penuh tanjakan bervariasi. Meski aku belum pernah menyambangi gua peninggalan Jepang tersebut, setidaknya aku pernah bersepeda ke sekitaran Gua Cerme dan Bukit Paralayang. Kupastikan tipe tanjakannya tak berbeda jauh.

Beberapa alasan membuatku menggunakan sepeda lipat untuk besok pagi, salah satu faktor utama adalah sepeda MTB-ku sedang diservis total di Rodalink Jogja. Selain itu, aku juga sedang menguji sepeda lipat yang sudah kubeli sejak desember tahun lalu. Belum pernah kubawa ke tanjakan lumayan tinggi.

Menggunakan sepeda lipat Ecosmo edisi Tokopedia ini paling tinggi hanya ke Gunung Wangi. Sebelumnya, aku pernah membawa sepeda ini saat bersepeda Jogja – Solo sebelum ramadan. Ini waktu yang tepat menjajal sepeda lipat dengan tanjakan beragam.

Tak sempat kuabadikan saat di jalan datar. Ritme kayuhan lumayan kencang. Seingatku, kami melintasi jalan sekitaran Desa Wisata Kebonagung, lalu mengarahkan jalan ke Pundong. Sesampai pertigaan Pasar Pundong, belok kiri menyeberangi jembatan baru.

Jalan ini tembusannya sampai Jembatan Kretek, Gua Jepang sendiri harus melintasi tanjakan perbukitan. Plang petunjuk arah sudah ada, waktunya mengayuh pedal pelan-pelan. Gir belakang sudah paling kecil, sementara gir depan hanya satu.
Istirahat di sekitaran kawasan Gua Surocolo
Istirahat di sekitaran kawasan Gua Surocolo
Ardian menginfokan bakal ada banyak tanjakan, sehingga kami harus mengatur tenaga. Satu demi satu tanjakan terlintasi tanpa ada target. Beruntungnya, tanjakan yang mengarahkan ke Gua Jepang tidak panjang. Bervariasi dengan jalanan datar.

Titik poin pertama untuk rehat ada di sendang. Lokasinya di kawasan Gua Surocolo. Sendangnya dikelilingi pepohonan rindang. Untuk sesaat aku istirahat di sini sembari memotret. Di atas tampak sebuah pendopo. Aku berfoto di depan pendopo.

Sekilas kulihat papan informasi di Gua Surocolo, sebagian juga menyebutnya Gua Sunan Mas. Kuambil sedikit rekaman, lantas istirahat. Di depan sudah tersaji satu tanjakan lumayan panjang dan menikung. Tiap sisinya pepohonan jati.

Satu persatu kusapa pesepeda yang istirahat di tepian jalan. Kutekankan kepada beliau untuk tidak memaksakan diri. Sekiranya tidak kuat, lebih baik menuntun. Aku tidak ingin melihat orang-orang lebih mementingkan ego dan memaksakan diri.

Sepeda kuparkir di tepi jalan. Secara bergantian aku memotret Yugo dan Ardian tepat di tanjakan. Kami bertiga memang sering berganti mengabadikan. Karena tujuan bersepeda kami untuk olahraga. Kali ini, tiga sepeda berbeda. Sepeda lipat, sepeda gunung, dan sepeda balap.
Tanjakan panjang menuju Gua Jepang, Pundong
Tanjakan panjang menuju Gua Jepang, Pundong
Satu setengah kilometer lagi sampai di Gua Jepang. Begitulah papan plang petunjuk arah yang kubaca. Kami bertiga kompak, menuntun sepeda di salah satu tanjakan. Sejak dari sendang hingga puncak, tidak ada rumah. Sehingga kita harus menyiapkan air minum bawaan.

Tanjakan demi tanjakan kami lintasi. Sebagian besar dengan mengayuh pedal. Di dua titik kami memang menuntun. Untuk sebagian orang, tanjakan ke gua Jepang Pundong ini menarik, modelnya mirip jalur Bukit BNI. Tanjakan bervariasi dengan jalur datar, tidak membosankan.

Sepeda lipat yang kunaiki masih bawaan pabrik, itupun sudah cukup mumpuni untuk jalur ke Gua Jepang. Jika memang ingin lebih enak, tentu beberapa komponen harus diganti yang lebih baik. Bagiku, sepeda lipat ini hanya untuk jalan datar dan keliling kota, sehingga belum terpikirkan untuk mengganti komponen baru.

Gapura besar menyambut kami, di sisi kanan sudah banyak warung. Sebuah portal menutup jalan dijaga petugas. Ardian membayar tiket masuk. Untuk mengakses ke gardu pandang dan melihat beberapa gua Jepang, kami membayar tiket 3000 rupiah perorang.

Di tepian jalan sudah ada peta sebaran Gua Pundong, secara garis besar denah tersebut menjabarkan lokasi gua-gua buatan Jepang. Seingatku, di Yogyakarta ada tiga lokasi gua Jepang. Gua Jepang Kaliurang, Gua Jepang Berbah, dan Gua Jepang Pundong.
Peta sebaran lokasi Gua Jepang, Pundong
Peta sebaran lokasi Gua Jepang, Pundong
Informasi yang kudapatkan dari situs kebudayaan, Gua Jepang ini secara administratif berada di dua kabupaten, Bantul dan Gunungkidul. Tepatnya, 16 gua ada di Pundong, Bantul dan empat di Purwosari, Gunungkidul. Keduanya memang daerah perbatasan.

Denah lokasi yang ada di tepian jalan membuat kami sedikit menerka lokasi kami berada ini tepatnya di gua berapa. Keterbatasanku ini mungkin dirasakan orang-orang yang kurang paham tentang peta, semoga ke depannya ada perbaruan peta dengan tambahan lokasi kita terkini.

Gua Jepang identik dengan lorong kecil dan sempit. Kegunaan gua Jepang untuk pertahanan. Inilah alasan kenapa gua Jepang biasanya berlokasi di perbukitan ataupun lokasi-lokasi yang strategis. Konon, pembuatan Gua Jepang ini berawal dari kedatangan Jepang di Yogyakarta tahun 1942.

Tiap gua disinyalir saling berhubungan. Mulai langsung tiap lorong ataupun melintasi jalur-jalur tertentu. Di Gua Jepang Pundong, lokasi paling jauh adalah gua 20 di Purwosari. Gua tersebut digunakan untuk penembakan kala sekutu datang.

Kulongokkan pandangan tepat di depan salah satu gua yang berada di pinggir jalan. Kedua gua ini bersampingan dan saling berhubungan. Anak tangga kecil menjadi tapakan, tapi aku tidak berniat masuk. Meski, menurut banyak informasi yang kudapatkan, kita diperbolehkan masuk.
Salah satu gua Jepang di Pundong, Bantul
Salah satu gua Jepang di Pundong, Bantul
Alasanku paling utama tentu karena sejak awal tidak izin masuk ke petugas, sehingga harus menaati aturan tak tertulis. Kuambil beberapa gambar dan rekaman, lantas melanjutkan perjalanan ke arah gardu pandang. Sudut yang langsung menghadap samudra.

Pengelola di Gua Jepang nyatanya membuat beberapa spot foto ala-ala di sepanjang jalan yang menghadap ke laut. Setidaknya ada empat spot yang kuingat. Mulai dari bentuk kuda lumping, hingga mirip bulan sabit. Spot bulan sabit ini yang sering kulihat di beranda Instagram.

Kotak kecil sudah disediakan. Memang tidak ada kewajiban untuk mengisi, hanya sukarela. Jadi, kita harus peka untuk mengisinya. Donasi yang dimasukkan biasanya untuk perawatan gardu pandang ataupun untuk hal yang lainnya guna mendukung fasilitas di sini.

Nun jauh di sana, barisan pantai selatan membentang. Dilihat dari tempatnya, kupastikan tempat ini bakal jauh lebih ramai kala sore. Menatap senja menjadi hal yang menyenangkan. Hanya saja, kemungkinan yang di sini adalah muda-mudi setempat. Para wisatawan lebih fokus di Pantai Parangtritis maupun paralayang.
Lansekap di Gardu Pandang Pundong
Lansekap di Gardu Pandang Pundong
Kuambil foto di spot-spot tertentu sebelum meninggalkan gardu pandang menuju warung. Ardian dan Yugo pun berfoto. Kurun waktu sepekan, Ardian ke sini dua kali. Sabtu lalu bersama kawan kampung, sekarang dengan kami.

Kami balik menuju arah warung, berbincang sejenak dengan petugas yang berjaga. Sebelumnya, kulihat beliau sibuk membantu rombongan sepeda yang berfoto di dekat tulisan Gua Jepang. Buku kecil catatan para wisatawan di dekatnya.

Kunjungan wisatawan ke Gua Jepang turun drastis selama pandemi. Hal ini dirasakan oleh semua sektor pariwisata. Kunjungan tiap akhir pekan jauh lebih banyak. Untuk beberapa tahun terakhir, tiap akhir pekan didominasi pesepeda kala pagi, sorenya para pengguna kendaraan bermesin.

Sebagian besar dari wisatawan hanya ingin melihat gardu pandang, tidak fokus dengan gua Jepang-nya. Memang tidak dipungkiri, peminat cerita-cerita tentang peninggalan sejarah mempunyai target sendiri. Setidaknya, gua jepang di sini terawat baik.

Deretan warung tak semuanya buka. Ada lebih dari enam warung, hanya saja dua warung buka. Kami menuju salah satu warung dan memesan minuman. Tidak ketinggalan gorengan untuk cemilan. Ibu pemilik warung dibantu anak perempuannya menyiapkan pesanan.
Mengeteh di salah satu warung
Mengeteh di salah satu warung
Tiap warung sudah menyertakan harga menu. Tulisan harga menu ada di depan warung, sehingga kita tidak menebak kisaran harganya. Mulai dari es teh hingga makanan seperti soto pun tersedia. Kami tidak makan berat, karena sudah merencanakan makan sate di Imogiri.

Ardian menginfokan jika di sini ada minuman khas bernama Ereng-Ereng, wedang tersebut kami pesan untuk menuntaskan rasa penasaranku. Wedang Ereng-Ereng adalah minuman khas daerah Seloharjo, cocok diseduh saat pagi.

Komposisi minuman ini ada irisan pisang raja, batang sereh, kapulaga, kayu manis, daun pandan, dan jahe. Rasanya manis dan dominan sereh serta pisang rajanya. Minuman seperti ini cocok untuk hawa dingin. Ini versiku, setidaknya bisa menghangatkan tubuh.

Satu gelas Wedang Ereng-Ereng harganya 5000 rupiah. Jika berminat membeli yang dalam kemasan, sudah disediakan oleh pihak warung. Sebungkus kemasan Wedang Ereng-Ereng dibanderol 22.500 rupiah berisi lima kali seduhan dan sudah ada gula batunya.
Wedang Ereng-Ereng khas Pundong
Wedang Ereng-Ereng khas Pundong
Tanpa terasa minuman dan cemilan sudah kami habiskan. Waktunya membayar dan pulang. Kurendahkan seatpost sepeda, karena jalanan turunan curam. Kedua kawan sudah turun terlebih dahulu dan berjarak. Aku paling belakang.

Sedikit informasi, jalur turunan mempunyai tantangan tersendiri. Bagi pesepeda, turunan itu mempunyai risiko tinggi jika kita tidak hati-hati. Kita harus bisa mengendalikan sepeda dengan baik dan memainkan rem sepeda agar tidak melaju tanpa kendali.

Terkadang, jam-jam tertentu banyak pesepeda yang menanjak, sehingga harus waspada saat turun dengan laju agak kencang. Jalur berangkat maupun pulang di Gua Jepang tantangannya berbeda, semua orang harus bisa mengendalikan diri agar mengurangi risiko kecelakaan.

Destinasi Gua Jepang Pundong sudah terlaksana, sepeda lipat yang kunaiki tak ada masalah. Siang ini sangat terik, rasanya cukup menyengat di kulit. Kami bertiga melintasi jalur yang sama, lalu berhenti makan siang di Sate Mbak Bella. Seporsi sate bakar menjadi asupan yang tepat. *Bantul, 19 Juni 2021.

14 komentar:

  1. Rupanya Lobang Jepang ini terdapat di mana-mana. Di daerah kami juga ada. selamat sore, Mas Nasirullah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gua Jepang memang ada di banyak tempat, modelnya pun sama-sama.

      Hapus
  2. di pundong banyak juga ya guanya
    itu ereng ereng ada pisangnya, kayak kolak aja
    heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang paling terkenal di Bantul itu Juga Selarong dan Gua ini hehehehe. Lumayan lah mas buat destinasi wisata

      Hapus
  3. Wah, wedang Ereng-ereng, kayak apa yach rasanya? Seru nih gowes di Bantul ya mas. Tau2 ada Gua Jepang Pundong. Itu kecil amat pintu masuknya, ih seremmm hahaha :) Dipikri2 kok ya mustahil ya zaman dulu orang Jepang pinter abnget bikin gua-gua yang terhubung ke mana2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasa yang dominan itu sereh dan pisangnya hehhehe. Cenderung manis menurutku. Enak sih untuk wedangan

      Hapus
  4. wowww .. tanjakan tanjakannya, tapi kalau sudah sampai destinasi ... bener2 terbayar .... dapat spot bersejarah, pohon2 yang tinggi besar dan dapat view-nya ke pantai pula

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat latihan fisik memang pas, kang. Pokoknya naik seli bikin kapok hahahaha

      Hapus
  5. Kalo ke sini, aku jelas lebih tertarik Ama goa Jepangnya drpd spot foto. Tempat bersejarah gini lebih menarik sih. Tapi kepenginnya kalo memang bisa masuk, ada guide yang menjelaskan, jadi ga nebak2 sendiri sejarahnya gimana.

    Goa Jepang banyak ternyata Yaa. Awalnya aku kira hanya ada di bukitinggi, ternyata di beberapa tempat lainpun ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di tempat seperti ini malah jarang ada pemandunya, mbak. Jadi kita baca peta atau denah yang ada di lokasi.

      Hapus
  6. Mas aku malah salfok sama minuman Ereng2 itu mas, ini resep aku simpan kebetulan aku punya semua rempah2nya, tinggal beli pisangnya aja, fix mau bikin secepatnya, kayaknya enak banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe, bisa dicoba mbak. Kalau kebanyakan pisangnya bakal jauh manis. Jadi kalau bisa diiris dikit aja pisangnya

      Hapus
  7. Sepeda lipat yang masih bawaan pabrik dibawa nanjak. Lihat tanjakannya emang model tanjakan panjang sih. Kalau pakai seli emang berasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahha, pokoknya langsung turun dan tuntun, mas

      Hapus

Pages